Manusia adalah makhluk yang cemas dan gelisah. Kecemasan dan kegelisahan ini merupakan akibat dari dimiliknya kesadaran diri yang bersumber dari rasio. Tidak seperti tumbuhan atau hewan, manusia sadar akan keadaan dirinya sendiri baik berupa kelebihan ataupun kekurangan. Terutama akan kekurangan atau kekerdilannya sendiri di depan alam semesta, lingkungan, atau sebenarnya Tuhan yang Mahabesar. Manusia begitu lemah berhadapan dengan alam (misal bencana), berhadapan dengan keadaan yang serba tidak pasti dan tidak dapat sepenuhnya dikendalikan. Dapatkah manusia mengendalikan hidup dan masa depannya sendiri? Tidak, dan karena itulah manusia merasa cemas dan gelisah.
Menurut Kierkegaard, kegelisahan manusia bersumber dari tegangan antara “yang abadi” dan “yang mewaktu” dalam diri manusia. Yang abadi adalah konsep mengenai harapan akan kesatuan makna dari seluruh kehidupan yang dijalani manusia. Sedangkan yang mewaktu adalah keadaan dimana manusia mengalami hidup dalam momen-momen yang terpisah-pisah sehingga hidup tanpa korelasi dan tanpa makna. Manusia adalah gabungan dari kedua hal tersebut. Manusia hidup dalam waktu, tetapi manusia memiliki harapan/kerinduan akan keabadian agar hidupnya bermakna (bahagia). Manusia yang hidup dalam waktu merindukan keabadian. Itulah yang membuat manusia gelisah dan sengsara.
Untuk mengatasi atau mengurangi keadaan tersebut, manusia memerlukan suatu pegangan dalam hidup agar sebuah kepastian dapat diraih. Kierkegaard menawarkan komitmen terhadap “kebenaran subjektif”. Artinya, apapun pilihan hidup manusia dalam waktu, adalah benar bagi dirinya dan haruslah dipegang/diyakini secara kuat-kuat sebagai kebenaran pribadi. Dengan begitu, manusia memiliki kepastian (meskipun relatif) dan mendapatkan suatu pegangan hidup.
Kebenaran subjektif itu juga dilakukan terhadap kepercayaan (Agama) sebagai pegangan hidup atau jalan hidup. Dalam menganut suatu Agama, manusia tidak mengetahui secara pasti (objektif) tentang kebenaran Agamanya, tetapi meyakini (secara subjektif) akan kebenaran Agama yang dianutnya. Terkait dengan ini, Kierkegaard menyatakan bahwa yang terpenting dari hubungan terhadap Agama adalah relasi (keyakinan) bahwa apa yang dipeluknya tersebut adalah benar. Tetapi dalam ajaran Agama, yakin/percaya saja tentunya belum cukup karena harus diikuti dengan aplikasi keyakinan tersebut dalam kehidupan sehari-hari (dalam waktu) sesuai ajaran Agama yang diyakininya tersebut. Dengan keyakinan tersebut, manusia mendapatkan pedoman untuk menafsirkan dan menjalani hidup sehingga ketidakpastian yang membuat manusia cemas serta gelisah dapat dihilangkan atau paling tidak dikurangi.
Tampaknya, salah satu kelebihan dari Agama adalah ajaran tersebut melampauhi pengetahuan manusia yang terbatas (Wahyu dari Tuhan) sehingga dapat dijadikan pedoman hidup bagi manusia yang terbatas untuk mengatasi keterbatasannya tersebut. Mana mungkin manusia yang terbatas bisa menciptakan pegangan/aturan hidup sendiri untuk menguasai yang tak terbatas (di luar kemampuan dirinya)? Mungkin ini salah satu alasan kodrati bahwa manusia memang memerlukan pegangan Agama dalam hidupnya.
27/07/08
Referensi/Bacaan: Kierkegaard, dan pergulatan menjadi diri sendiri (penulis Thomas Hidya Tjaya)